THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 07 Juni 2009

Sarjana Rasa SMA


“Ada pertanyaan..........?” tanya seorang dosen kepada kami, para mahasiswa, setelah setengah jam berkomat kamit menghibahkan kaya ilmu dengan segala akting menariknya. Beliau adalah dosen yang ahli di bidangnya, tidak lebih dari ilmu beliau yang ada, sedikitpun. Kadang aku kagum dan bangga padanya tapi sekali lagi tidak lebih dari sebuah senyuman.
Senyum penuh makna yang mengisahkan berpuluh rasa yang terucing dalam kalbu, mengusik urat-urat yang menyelingkar, membuatnya beranalogi bahasa tubuh. Beliau tidak marah, tapi aku mengerti beliau sangat kesal. Diamnya yang memaku dan tak satu pun kata terucap, jelaslah itu sebuah tanda tak nyaman bagi seorang yang periang, yang menyengir tersenyum di setiap seluk ulasannya. Aku tersenyum kagum memaknainya.
Dengan gayanya beliau menghampiri meja dan kursi tepat di depan kami, kelompok mahasiswa yang rajin mengikuti mata kuliahnya, tidak lebih dari hanya mengikutkan raga saja, tanpa makna lugas yang teraup. Beliau mengacak kembali buku yang sedari tadi terbuka, sejak awal beliau membuka pertemuannya dengan salam.
Walau aku tak menatap dan meneliti beliau dari dekat, aku tahu beliau meneliti kami yang menjadi pendengar setianya yang seolah penyimak baik. Beliau berharap banyak kata yang terucap dari mulut kami, tanya demi tanya dan tanggapan yang menyeruak dari rongga dada kami demi aktifnya kelas. Tapi, sungguh dan sungguh ajaib, kelas yang tadi berisik, banyak cin cong tak bermanfaat. Kini menjadi sunyi, walau masih ada sedikit saja bisikan nyamuk nakal yang tak penting itu.
Entah apa yang kini akan terselubung dalam pikir dosen ahli senyum itu, beliau belum menampakkan tingkahnya yang menganalitik. Beliau masih sibuk mengusap kertas demi kertas yang terjejer rapi dalam sampul bukunya. Mencari sesuatu yang mungkin beliau belum pelajari semalam untuk mengajari mahasiswa ajaib ini.
Yah, dia kini hanya tersenyum tapi belum menatap kami. Lalu meletakkan bukunya yang membelah dengan pulpen pelan diatas meja. Dengan gayanya yang menarik lagi, beliau melepaskan kaca mata dari gelanggang daun telinganya, dan kemudian mengusap matanya pelan. Dan dengan cirri khasnya, beliau tersenyum dengan mata yang sedikit menyipit. Tapi senyum itu tidak ku suka sama sekali, mungkin juga semua mahasiswa di kelas ini. Karena senyum itu, senyum ejekan bagi kami mahasiswa dungu atau senyum seorang moralitas yang lupa dengan ilmu akhlaknya. Bersambung .......................

Percaya gak kamu, kalo emang ada sarjana rasanya SMA. Gak total seperti mahasiswa yang dianggap mandiri, sigap, tanggap, and lainnya. Malah ia seperti anak SMA yang masih merengek-rengek dengan tugas-tugas yang diberikan guru.
Aaduh...........kasihan juga ya..............!!
Baca kelanjutan kisahnya. NEXT TIME

Readmore.....