THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 15 Februari 2013

Way Of Image

Isi paragraf tampil Mengistilahkan paradigma kata ‘sulit’ untuk menjadi ‘gampang’ tidaklah mudah dalam menghadapi suatu masalah, yang seharusnya masalah sulit tersebut menjadi mudah ketika dihadapi. Memang menjadi sebuah problema pikir yang belum ditemukan jalan keluarnya (-rumus permanen) tapi terkadang dan tidak memastikan bahwa jawaban dari semua itu tumbuh pada diri sendiri. Karena, logikanya orang yang menghadapi suatu masalah dan orang tersebut mengeluh ‘sulit’ berarti dirinya sendirilah yang merasakan sulit. Jika sebaliknya, ia bisa menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut maka ia akan berkata ‘mudah’. Menindak lanjuti permasalahan tersebut, bahwasanya masalah kata sulit itu jika tidak ditemukannya kata mudah. Kesimpulannya, seseorang cenderung berkata ‘sulit’ dari pada berkata ‘mudah’ dalam menghadapi masalah. Padahal kemudahannya itu terbentuk dari kesulitan yang pernah ia lewati sebelumnya atau ia belum pernah mengenalnya sehingga berkata sulit. Dan persoalanya sekarang, bagaimana menumbuhkan kata ‘mudah’ untuk menyelesaikan kata ‘sulit’. Di dunia pendidikan tidak sedikit masalah sulit dijumpai, karena memang di tempat tersebutlah dicari bermacam kata sulit untuk dijadikan kata mudah. Seperti yang terjadi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VII. Dalam pelajaran tersebut, terdapat kompetensi belajar membaca dan menulis kreatif sebuah puisi. Tidak mudah untuk mengkomunikasikan membaca dan menulis puisi tersebut pada anak didik, karena mereka dituntut untuk berimajinasi sebelum menulis dan keberanian untuk membaca sebuah puisi. Dan semua ini, pengalaman baru bagi mereka. Pendidik harus mencari strategi-strategi tertentu untuk mengajak mereka menjadi pengapresiasi sekaligus pencipta karya sastra berupa puisi. Isi paragraf sembunyi
Pendidik sebagai imagine center (pusat imajinasi) awal terbentuknya kompetensi siswa, selayaknya sebelum skenario pembelajaran sastra tersebut terlaksana mencari variasi model pembelajaran untuk memodifikasi kesulitan yang akan dihadapi anak. Menyiapkan strategi-strategi cadangan dalam pembelajaran yang mungkin dibutuhkan. Anak didik dalam membaca sebuah puisi membutuhkan kepercayaan diri, dalam arti berani mengekspresikan diri untuk membaca lantang dengan gaya intonasi yang ia miliki sebagai bentuk apresiasi. Kenyataannya banyak anak didik yang masih belum memiliki rasa percaya diri, sehingga terjadi saling seret menyeret dalam pembelajaran. Kebanyakan mereka mengatakan sulit dari pada mudah, padahal mereka belum memulainya. Begitu pula yang terjadi, saat anak didik diminta untuk menulis sebuah puisi. Mereka menyerah lebih dulu dari pada melewatinya. Fenomena ini akan terus berlanjut menjadi sebuah keterpurukan dalam pembelajaran karya sastra, dan menjadi sebuah hal yang menyusahkan yang pada akhirnya anak didik akan selalu berpikir ‘sulit’ daripada berpikir ‘gampang’. Solusi-solusi kreatif baru yang menumbuhkan dan mengembangkan yang tumbuh dari seorang pendidik akan menjadi hal utama dan terpenting dalam penyelamatan dan pelestarian karya sastra. Keberadaan puisi yang menjadi salah satu karya sastra, menjadi gambaran dari macam karya sastra lainnya. Seperti cerita pendek (cerpen), novel dan drama. Yang semua itu menuju pada kesatuan tekhnik (-walau ada bagian yang berbeda) yaitu Imajinasi. Imajinasi menjadi salah satu tumpuan terpenting dalam pembelajaran karya sastra, sehingga jika anak didik tidak mampu berimajinasi dengan baik maka ia akan mengalami kesulitan. Imajinasi adalah hal yang mengasyikkan, anak didik tidak akan selamanya mengalami kesulitan dalam berimajinasi. Mereka hanya perlu perubahan pola pikir yaitu dengan mempengaruhi sistem berpikirnya, maka mereka akan berubah dengan sendiri. Menulis sebuah puisi bukanlah hal yang menegangkan, anak didik mampu berimajinasi sudah bisa mengawali karangannya walau penyusunan dan tata letak kalimatnya belum sempurna. Tapi sudah mempunyai kandungan keindahan, karena imajinasi rasanya yang penuh penghayatan dalam mengarang. Dalam kegiatan membaca puisi, mereka bisa mengawalinya tanpa banyak keluhan. Karena mereka akan membaca karya yang diciptakan dengan gaya yang ada pada kemampuan pribadinya. Sebagai pengendali pembelajaran, pendidik harus mampu menumbuhkan keinginan anak didik untuk terus belajar dan berlatih menciptakan sekaligus membaca puisi tanpa harus terikat pada karangan sastra yang sudah ada. Dalam arti, terlebih dahulu membiarkan anak didik untuk berekspresi dengan kemampuannya sendiri. Semua ini merupakan tantangan sebagai pendidik untuk terus mencari strategi-strategi yang lebih kreatif untuk membawa anak didik pada paradigma yang mandiri, yang selalu berantusias untuk mengikuti pelajaran. Mengganti kata keluhan ‘sulit’ menjadi ‘mudah’ (-gampang)’.

0 komentar: